Sosok dan kepribadian Nabi Muhammad
Saw tak akan pernah hilang dikekang jaman, euforia namanya akan selalu
dijadikan rujukan oleh semua manusia. Muhammad Saw lahir dari keluarga sederhana
dan suci ini, sejak kecil harus kehilangan ke dua orang tua yang ia cintai,
Abdullah, ayahandanya telah meninggalkannya tanpa sama sekali melihat wajah
ayah yang ia sayangi, lalu menginjak usia 6 tahun, sang ibunda, Aminah, pun
harus meninggalkannya untuk selamanya. Kepergian ke dua orang tuanya ini
menyebabkan ia harus rela menjadi yatim piatu.
Namun kondisi ini tidak menyurutkan
semangatnya untuk berjuang menggapai cita-cita dan tujuan hidup, malahan
kondisi ini membuatnya menjadi sosok yang semakin tegar dan terdidik untuk
lebih mencintai sesama makhluk Allah Swt. Dalam kondisi yang serba kesendirian
dan keprihatinan tersebut, menggugah rasa sang kakek, Abdul Mutholib,
mengalihkan rasa cintanya pada Muhammad Saw, karena sang kakek mampu merasakan
kondisi sang cucu yang telah diterpa badai kesedihan. Sang kakek selalu menaruh
harapan padanya untuk kelak bisa menjadi pemimpin yang disegani oleh suku-suku
Quraisy, seperti misalnya Abdul Mutholib selalu mengajak Muhammad Saw setiap
pertemuan dengan kepala kabilah suku Quraisy, Muhammad Saw akan selalu
disertakan dalam pertemuan tersebut, hal ini untuk mendidik dan mengenalkan
Muhammad Saw kelak nantinya bisa menjadi pemimpin yang disegani dan bijaksana,
dari sinilah didikan untuk menjadi pemimpin sudah tertanam kuat di jiwa
Muhammad Saw.
Bukti rasa sayang Abdul Mutholib pun tak
lantas di masa-masa hidupnya saja, menjelang akhir kematiannya, sang kakek
selalu cemas dan khawatir jika ia salah pengasuhan, maka diputuskanlah bahwa
setelah kematiannya, ia menunjuk dan mengamanahi Abu Thalib; salah satu anak
beliau untuk mengasuh Muhammad Saw, alasan penunjukkan Abu Thalib adalah karena
jiwa dan sifat mulia yang dimiliki sang putranya ini lebih dibandingkan
anak-anaknya yang lain. Meskipun dari segi perkonomian hidup, Abu Thahib sangat
sederhana dan jauh dari kemewahan dan kekayaan.
Masa-masa pengasuhan Abu Thalib, selain
curahan kasih sayang melebihi anak-anaknya, Muhammad Saw pun oleh sang paman digembleng
menjadi sosok yang mandiri, hal ini dibuktikannya saat usia Muhammad Saw
menginjak umur 12 tahun, sang paman menyertakannya dalam suatu ekspedisi bisnis
ke daerah Syam (Syiria).
Ekspedisi bisnis ini bila kita telaah
merupakan bagian dari didikan sang paman, agar kelak Muhammad Saw menjadi
seorang pebisnis yang tangguh. Melihat intensitas kehidupan sosial masyarakat
Quraisy yang gemar berbisnis hingga melintasi batas wilayah teritorial, dengan
menempuh jarak bermil-mil, dan rentang waktu berhari-hari.
Sehingga, didikan sang paman ini
begitu membekas di jiwa Muhammad Saw, dari pengalamannya berbisnis bersama sang
paman pada dasarnya adalah modal penting dari perjalanan hidupnya, dan memang
hasil didikan bisnis sang paman ini bisa ia unduh hasil dan buktinya, yakni
ketika beliau di umur 25 tahun dipercaya oleh saudagar wanita terkaya, Siti
Khodijah, untuk memimpin ekspedisi bisnis miliknya kepada Muhammad Saw. Dan
kepercayaan Khadijah ini mampu oleh Muhammad Saw jalankan dengan sukses. Barang
dagangan Khadijah laku keras, dan pundi-pundi keuntungan menghinggapi ekspedisi
tersebut.
Baca Juga:
Manfaat Sifat Jujur Dalam Bisnis Dan Kejujuran Bisnis Nabi Muhammad Saw
Baca Juga:
Manfaat Sifat Jujur Dalam Bisnis Dan Kejujuran Bisnis Nabi Muhammad Saw
Dari kisah ini dapat kita simpulkan
bahwa mental dan jiwa berbisnis harus kita tanamkan sejak usia dini pada
generasi bangsa ini. Karena modal berbisnis tidak hanya keuangan yang mumpuni
saja, tapi juga mental dan jiwa yang kuat pebisnis sendiri.
Semoga Bermanfaat...