Selasa, 03 Juni 2014

Bahan Baku Manusia Adalah Waktu, Dan Waktu Adalah Uang


E. Kosasih dalam bukunya berjudul Psikologi Eksistensialis dengan mengutip ungkapan kalangan filosof eksistensialis, menyatakan bahwa bahan baku manusia adalah waktu. Ungkapan filosofis ini seirama dengan ungkapan kalangan dunia bisnis yang telah mashur kita dengar bahwa: waktu adalah uang. Ke dua ungkapan tersebut bila kita renungkan pada intinya memiliki persamaan dan kaitan yang sangat erat dan tidak menjadi privilage kalangan tertentu saja, yang seringnya kita menganggapnya memiliki dikotomi; saling berseberangan.

Ok, mari kita renungkan dan kaitkan satu sama lainnya dalam batasan bagaimana memaknai waktu. 

Kalangan eksistensialis: bahan baku manusia adalah waktu. Artinya, waktu memiliki kaitan yang erat akan ‘ada dan mengadanya manusia’. Secara fundamental, tanpa ada waktu pastinya manusia akan tiada. Dari kacamata lain; mengadanya manusia sering teraliensi oleh adanya, karena manusia tidak mampu memanfaatkan sang waktu. Sehingga, keberadaannya dalam keterasingan eksistensi diri; dengan berkata: “adanya aku tiada; tiada artinya!”. Sehingga, keberadaannya menimbulkan pantologi yang menjangkit seluruh sistem keberadaannya. Menggerogoti keberadaannya dalam segudang masalah diri dan sosial. Hingga mati terjerembab dalam ketiadaan sebagai manusia yang seharusnya ada dan mengada.

Dalam kaitannya dengan aktivitas bisnis: ungkapan waktu adalah uang. Karena pragmatisme dunia bisnis adalah tuntutan finansial yang bisa memunculkan dan menenggelamkan sepak terjang bisnis yang sedang dijalankan. Motor penggeraknya berupa uang. Target dan tujuannya jelas, bagaimana mencapai hasil maksimal; keuntungan yang sebesar-besarnya, dengan menjaring klien atau konsumen. Kasarnya, bagaimana produk barang atau jasa laku; bisa dinikmati oleh pasar. Oleh sebab itu, bisnis hanya bisa berjalan dan berkembang hanya dengan memegang dan menjaga filosofi: waktu adalah uang, yang semaktu-waktu bila pebisnis tidak mampu memanfaatkan dan memaksimalkan waktu, uang tidak akan menghampiri, karena akan berpindah ke lain kompetitor. 

Uang pun adalah sumber ukuran kesejahteraan hidup, yang dalam struktur bawah: dengan uang, manusia bisa makan; manusia bisa bertahan hidup. Basic neednya: sandang, pangan dan papan tercukupi. Sehingga, tak jarang di sudut manusia di wilayah lain, mati kelaparan. Karena, negara defisit uang, sebagai sumber membeli bahan baku makanan untuk rakyatnya. Atau perusahaan bangrut, barang dan jasanya tidak laku dipasaran, karena pundi-pundi keuntungan berupa uang yang seharusnya bisa diperoleh harus raib; tak laku, akhirnya alokasi biaya operasional perusahaan tersendat. Mati. Bangkrut.

Umumnya manusia akan berlomba mencapai tujuan ini: uang demi menjaga eksistensi bahan bakunya. Agar tetap survive hidup dalam mengadanya. Sama halnya dengan perusahaan, demi mencapai keuntungan berupa simbol uang, ektra upaya meraihnya. Tak jarang cara kotor dan licik demi keuntungan sesaat mereka lakukan. Memonopoli, menyuap dan membunuh eksistensi akses bisnis perusahaan lainnya, bahkan ada juga mengeksploitasi sumber bahan baku alam tanpa adanya upaya konservasi dan keselamatan masayarakat. Ya, demi satu tujuan, yakni agar perusahaan bisa survive di tengah persaingan yang ganas dan penuh intrik bisnis.


***

Kenyataannya, waktu adalah uang yang menjadi bahan baku manusia bisa hidup dalam adanya yang mengada. Alangkah naifnya, bila uang selalu menjadi stigma negatif akan eksistensi manusia yang berorientasi komersil. Bila kita balik dan renungi, umumnya manusia butuh uang. Kenyataan yang terus melingkari kehidupan manusia yang eksis dalam ruang dan waktu.

Perenungan Diri...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar