E. Kosasih
dalam bukunya berjudul Psikologi Eksistensialis dengan mengutip ungkapan
kalangan filosof eksistensialis, menyatakan bahwa bahan baku manusia adalah
waktu. Ungkapan filosofis ini seirama dengan ungkapan kalangan dunia bisnis
yang telah mashur kita dengar bahwa: waktu adalah uang. Ke dua ungkapan
tersebut bila kita renungkan pada intinya memiliki persamaan dan kaitan yang
sangat erat dan tidak menjadi privilage kalangan tertentu saja, yang
seringnya kita menganggapnya memiliki dikotomi; saling berseberangan.
Ok, mari kita renungkan
dan kaitkan satu sama lainnya dalam batasan bagaimana memaknai waktu.
Kalangan eksistensialis:
bahan baku manusia adalah waktu. Artinya, waktu memiliki kaitan yang erat akan ‘ada
dan mengadanya manusia’. Secara fundamental, tanpa ada waktu pastinya manusia
akan tiada. Dari kacamata lain; mengadanya manusia sering teraliensi oleh
adanya, karena manusia tidak mampu memanfaatkan sang waktu. Sehingga, keberadaannya
dalam keterasingan eksistensi diri; dengan berkata: “adanya aku tiada; tiada
artinya!”. Sehingga, keberadaannya menimbulkan pantologi yang menjangkit
seluruh sistem keberadaannya. Menggerogoti keberadaannya dalam segudang masalah
diri dan sosial. Hingga mati terjerembab dalam ketiadaan sebagai manusia yang seharusnya
ada dan mengada.
Dalam kaitannya dengan aktivitas
bisnis: ungkapan waktu adalah uang. Karena pragmatisme dunia bisnis adalah
tuntutan finansial yang bisa memunculkan dan menenggelamkan sepak terjang
bisnis yang sedang dijalankan. Motor penggeraknya berupa uang. Target dan
tujuannya jelas, bagaimana mencapai hasil maksimal; keuntungan yang sebesar-besarnya,
dengan menjaring klien atau konsumen. Kasarnya, bagaimana produk barang atau
jasa laku; bisa dinikmati oleh pasar. Oleh sebab itu, bisnis hanya bisa berjalan dan
berkembang hanya dengan memegang dan menjaga filosofi: waktu adalah uang, yang
semaktu-waktu bila pebisnis tidak mampu memanfaatkan dan memaksimalkan waktu,
uang tidak akan menghampiri, karena akan berpindah ke lain kompetitor.
Uang pun adalah sumber
ukuran kesejahteraan hidup, yang dalam struktur bawah: dengan uang, manusia
bisa makan; manusia bisa bertahan hidup. Basic neednya: sandang, pangan dan
papan tercukupi. Sehingga, tak jarang di sudut manusia di wilayah lain, mati
kelaparan. Karena, negara defisit uang, sebagai sumber membeli bahan baku
makanan untuk rakyatnya. Atau perusahaan bangrut, barang dan jasanya tidak laku
dipasaran, karena pundi-pundi keuntungan berupa uang yang seharusnya bisa
diperoleh harus raib; tak laku, akhirnya alokasi biaya operasional perusahaan tersendat.
Mati. Bangkrut.
Umumnya manusia akan
berlomba mencapai tujuan ini: uang demi menjaga eksistensi bahan bakunya. Agar tetap
survive hidup dalam mengadanya. Sama halnya dengan perusahaan, demi mencapai
keuntungan berupa simbol uang, ektra upaya meraihnya. Tak jarang cara kotor dan
licik demi keuntungan sesaat mereka lakukan. Memonopoli, menyuap dan membunuh eksistensi
akses bisnis perusahaan lainnya, bahkan ada juga mengeksploitasi sumber bahan
baku alam tanpa adanya upaya konservasi dan keselamatan masayarakat. Ya, demi
satu tujuan, yakni agar perusahaan bisa survive di tengah persaingan yang ganas
dan penuh intrik bisnis.
***
Kenyataannya, waktu adalah
uang yang menjadi bahan baku manusia bisa hidup dalam adanya yang mengada.
Alangkah naifnya, bila uang selalu menjadi stigma negatif akan eksistensi
manusia yang berorientasi komersil. Bila kita balik dan renungi, umumnya
manusia butuh uang. Kenyataan yang terus melingkari kehidupan manusia yang
eksis dalam ruang dan waktu.
Perenungan Diri...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar