“Kalian
harus inisiatif…!” Dengan suara setengah membentak, kalimat perintah ini
merupakan penekanan atas kinerja yang selama ini kurang begitu memuaskan.
Sehingga kata inisiatif harus menjadi penekanan final akan produktivitas dan
kontraproduktivitasnya karyawan di mata sang Bos.
Ya, inisiatif?
Pertanyaan
yang harus segera dicarikan jawaban yang memuaskan, agar tidak berlarut-larut
dalam kegelisahan yang terus membayangi layaknya roh halus saban malam
menyatroni rumah kita.
Kata
inisiatif selalu menempati hak istimewa dalam dunia bisnis dan organisasi yang
memerlukan tugas team (team-work).
Bahasan kata ini tak akan pernah berhenti selama manusia masih berserikat dan
berkumpul untuk satu tujuan tertentu. Bahkan, inisiatif mengidentifikasikan keberhasilan atau
kegagalan dengan antagonisme penjabarannya, tergantung konteks masing-masing
individu menggunakannya saja. Berhasil karena salah satunya ada faktor
inisiatif, sebaliknya gagal sama halnya
karena salah satunya kurangnya inisiatif.
Sangat
tidak etis, bila kata ini selalu menjadi pisau tajam untuk menyayat-nyayat
ketidakberhasilan seseorang di depan umum. Kemampuan seseorang menerima masukan
yang positif, melalui alasan justifikasi inisiatif yang bermakna negatif,
justru akan melemahkan dan menghancurkan gelora semangat untuk membangun dan
berkreasi. Pantasnya pemilihan kondisi dan situasi justifikasi
inisiatif-negatif ini merupakan hal yang perlu diperhatikan oleh siapapun, agar
akar kemanusian tidak tersakiti. Hilang tanpa gelora semangat lagi.
Secara
terminologi, inisiatif semakna dengan kata: usaha sendiri; ide baru. Yang
secara etimologi, inisiatif, adalah kemampuan mengidentifikasi peluang-peluang
potensial dan mampu menangkap dan merealisasikan peluang tersebut menjadi hasil
nyata yang bisa memberikan kontribusi real bagi dirinya dan orang lain. Sedangkan
daya yang ditimbulkan adalah mewujudkan usaha sendiri dengan ide baru tanpa
lagi ada komando dan instruksi dari pihak lain. Ia hanya akan menjadi manusia
yang menciptakan sesuatu yang baru.
Namun,
bahasan inisiatif ini tidak hanya berhenti pada pengertian semata, tapi inisiatif
pun memiliki kadar masing-masing yang selalu berdampingan dengan kadar resiko (risk). Makin tinggi resiko, maka reward keuntungan atau kesuksesan akan
tinggi juga. Secara global kadar inisiatif akan terpola menjadi tiga bagian:
kecil, sedang dan tinggi. Ketiganya dalam praktek nyata kehidupan tanpa disadari
sering kita terapkan dan kerjakan, tapi karena kadar yang berpola tinggi saja
yang selalu menjadi identifikasi penerapan inisiatif, maka kadar lainnya sering
kurang dimengerti oleh kita sendiri dan orang lain.
Misal
dalam organisasi perusahaan, kadar inisiatif tertinggi ada di pundak sang bos,
pemilik perusahaan, karena bos adalah sentral kebijakan final, dimana kebijakan
tersebut bisa berjalan ataupun tidak tergantung sang pemilik perusahaan. Sedangkan
bawahan hanya bisa memberikan masukan-masukan saja, yang kenyataannya bawahan
tersebut hakikatnya sudah menjalankan inisiatif dengan kadar tertentu. Baru
ketika kebijakan tersebut sudah ditetapkan dan dijalankan, pola inisiatif akan memainkan
kadarnya sesuai dengan posisi dalam struktur jabatannya di perusahaan. Sehingga,
bila ingin memiliki kadar inisiatif yang tinggi, jadilah bos, bukan karyawan. Setinggi
apapun jabatan struktural dalam organisasi perusahaan, bila masih menjadi
bawahan, bukan sang pemilik perusahaan, jangan harap kita menjadi pemegang
kadar inisiatif tertinggi.
***
Demikianlah
pembahasan alot tentang makna inisiatif dan penerapannya dalam dunia bisnis dan
organisasi massa yang sama-sama kami perjuangkan dengan sohib kami, Sugeng
Sugiarto, yang tak jarang debat argumentatif menyita banyak waktu dan pikiran
mewarnai tulisan sederhana ini…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar