Budaya mandiri menjadi
seorang pebisnis di Indonesia masih kurang begitu diminati. Mereka lebih
memilih menjadi pegawai pemerintahan atau bekerja di perusahaan multinasional
yang lebih menjanjikan secara finansial dan jaminan hidup, padahal mereka telah
terdidik dan memiliki skill yang mumpuni lulusan sebuah universitas ternama
baik itu di dalam negeri maupun di luar negeri. Kalo toh ada kemauan, dengan pengetahuan yang dimiliki
merupakan modal menjadi seorang pebisnis yang mandiri. Hanya saja mental ini
tidak dimiliki. Karena masih dihinggapi perasaan takut gagal bertempur. Atau
segudang alasan klasik, yakni kurang modal.
Tuntutan manusia yang
paling prinsipil adalah bagaimana ‘survive’, menopang kebutuhan dasar kehidupan.
Ya, perut yang tidak bisa ditawar-tawar lagi jika rasa lapar datang tiba-tiba.
Sinyal ini pertanda manusia harus makan. Memang banyak cara memperoleh makan: berbisnis,
bertani, berkebun, atau bekerja di pabrik dll. Alasannya? Karena dengan usaha
itu, sumber makanan akan terpenuhi. Lain halnya, jika sumber makanan itu
anugrah yang telah disediakan dari alam, manusia tinggal mendapatkannya saja.
Dan ini hanya bisa diperoleh jika manusia tinggal di sekitar alam rimba yang
dekat dengan sumber makanan, tapi bila manusia jauh dari sumber makanan yang
telah disediakan alam, usaha optimal dengan berbagai macam cara akan manusia
lakukan, asalkan perut ini kenyang. Namun, faktanya persediaan sumber makanan
dari alam sudah mulai berkurang, karena eksploitasi gila-gilaan tanpa pernah
memperhatikan akibat kerusakan yang ditimbulkan. Eksploitasi tanpa memperhatikan harmonisasi
hubungan antara manusia dan alam. Eksploitasi demi kepentingan bisnis yang
dijalankannya; terpenting bagaimana sumber kekayaan alam tersebut bisa
memberikan keuntungan maksimal.
Kebutuhan akan barang
selalu memiliki kaitan kuat dengan yang disediakan oleh alam; karena alam merupakan
bahan baku untuk menghasilkan berbagai macam jenis barang yang diinginkan
manusia, dan kebutuhan jasa sebagai penunjang setiap pola dan variasi produksi barang
bisa diminati dan sampai ke tangan konsumen. Ke dua kebutuhan ini adalah hal
krusial yang terus manusia kejar, yang memberikan peluang dan sumber penggerak untuk
membangun bisnis. Tergantung peluang potensial mana yang akan dibidik dan dijalankan.
Oleh sebab itu, seorang
pebisnis harus menguasai dan berpengalaman di suatu bidang bisnis tertentu. Jangan
pernah sama sekali berbisnis tanpa pengetahuan yang mendalam. Maka, solusinya
adalah bertanya kepada yang lebih ahli dan berpengalaman dan juga lakukan
penelitian. Agar, langkah ini menjadi penunjang setiap bisnis bisa berjalan
dengan sukses.
Umumnya, praktek bisnis
dengan teori yang pernah dipelajari dibangku universitas dan sekolah kadang
berbanding terbalik. Dan bukan suatu jaminan penguasaan keilmuan tentang bisnis
tertentu memberikan keberhasilan. Ada juga hanya bermodal mental bisnis yang
kuat dan modal keuangan pas-pasan, serta pengalaman yang biasa-biasa saja tanpa
teori bisnis yang berjubel malah mampu menjadi seorang pebisnis yang sukses.
Pebisnis yang mandiri.
Lo kok bisa? Ya karena
keyakinan, kerja keras, insting berbisnis pantang menyerahlah salah satu daya
kesuksesan. Teori bisnis nomer dua. Terpenting praktek langsung terlebih
dahulu. Barulah konstruksi teori keilmuan.
***
Membicarakan masalah
praktek dengan teori berbisnis memang perbincangan yang hangat dan tak jarang
argumen-argumen kuat harus disodorkan. Namun, saya sendiri akan mengisahkan
mengalaman pribadi yang menginspirasi dan dasar untuk mengulas antara parktek
dan teori berbinis.
Empat tahun lalu di Bali,
saya intens bergaul dengan teman-teman dari kepulauan Raas, Madura. Bagi saya
pribadi, mereka adalah sumber inspirasi pebisnis yang ulet dan sukses. Hanya
bermodal bahasa Inggris pas-pasan dan tekad yang kuat. Bisnis yang mereka
jalankan menghasilkan keuntungan yang berlimpah, efeknya sandang, pangan dan
papan tercukupi. Yang dikampungnya sendiri rumah mewah dengan konstruksi bangun
ala perkotaan bukan hal jamak lagi.
Dengan berbagi macam
profesi bisnis yang mereka geluti mulai dari penjual souvenir khas bali,
penjahit, dan menyewakan motor/mobil dll pundi-pundi uang bisa mereka raih.
Memang pangsa pasar yang mereka bidik adalah ‘bule’ yang berkunjung ke Bali.
Tapi, rata-rata mereka secara background pendidikan biasa-biasa saja, artinya
bukan lulusan bisnis di sebuah universitas, bahkan ada juga yang SD saja tidak
tamat. Dan daya untuk tidak mau menjadi pekerja yang selalu disetir orang
adalah hal yang patut saya apresiasi dari mereka. Lebih baik menjadi bos di rumah
sendiri, dari pada menjadi bos di rumah orang. Filosofi yang dikatakan salah
satu teman saya ini terus mengiang-ngiang dipikiran.
***
Dunia berputar. Jaman pun
terus berubah dan berkembang. Setiap masa punya generasi. Setiap generasi punya
pemahaman dan pengetahuan sendiri. Setiap orang memiliki kreativitas dan
inovasi dalam menjalankan bisnis.
Ungkapan tersebut
merupakan wahana perenungan dan sumber aplikasi untuk terus mengembangkan
bisnis sesuai dengan keinginan generasi disetiap jaman yang terus berkembang.
Dulu sarana promosi dari mulut ke mulut, kini dengan berkembangnya media
internet. apa salahnya media ini adalah sarana promosi yang bisa diandalkan.
Asalkan mau tanggap
terhadap tantangan perubahan dan perkembangan jaman, bisnis yang telah anda
miliki serasa fresh untuk diminati konsumen. Dan bisa menjawab tantangan jaman
yang semakin kompleks dan berjubel kompetitor-kompetitornya. Maka, jangan takut
menjadi pebisnis yang mandiri.
Bisnis Oh Bisnis…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar