Secara historis dan geneologi kekeluargaan dan keilmuan, satu pesantren
dengan pesantren di Cirebon hakekatnya memiliki hubungan famili dan keilmuan
dalam bentuk kekeluargaan dan guru-murid. Tak jarang anak pemiliki pesantren tersebut melakukan pernikahan silang antara putra-putri
mereka. Atau bagi murid yang pandai akan dinikahkan dengan anak sang kiai. Akhirnya
mau tak mau mereka harus mengembangkan pesantren layaknya sang ayah atau
mertua, atau sang guru. Sehingga, pesantren di Cirebon ada dalam satu jaringan
kekeluargaan atau guru murid yang padu.
Hal inilah keuntungan saya selaku santri bukan dari keluarga kiai atau
pemilik pesantren yang bisa masuk rumah ‘dalam’; yang sementara ini tabu
memasukinya jika tidak ada akses dan ijin dari sang kiai atau keluarga di dalam
rumah itu. Interaksi ini sedikit banyaknya memberikan pengalaman berarti
terhadap kondisi pesantren di Cirebon.
Pernah suatu waktu saya bersama anak kiai pesantren buntet ‘sowan’ ke rumahnya
di kompleks pesantren Buntet, Cirebon. Saya pun diajak olehnya keliling bertamu ke
salah satu pamannya. Tepatnya di rumah sederhana pamannya yang seorang kiai itu, setelah
beliau memberikan wejangan hidup dan nilai-nilai normatif ajaran islam. Sekonyong-konyongnya
beliau mengisahkan salah seorang santri di Cirebon yang sukses menjadi pebisnis,
tepatnya santri itu adalah santri di tempat saya mesantren, yaitu pesantren Babakan
Ciwaringin. Seketika saya terkejut, mendengar bahwa pebisnis itu satu almamater.
***
Walaupun ia hanya lulusan MTS, tapi pendidikan formal ini bukan kendala ia
menjadi seorang pemilik bus Dedy Jaya. Ia selalu menginspirasi
santri-santri lainnya untuk menjadi seorang pebisnis yang mandiri.
Artinya, seorang santri seharusnya tidak hanya berkutat pada keilmuan teoritis normatif islam saja,
tapi harus mengaplikasikannya dalam hidup, utamanya dalam soal berbisnis.
Sehingga, bisnis tidak hanya menjadi hak monopoli kalangan orang-orang luar pesantren, tapi santri harus menjadi
pemain bisnis yang handal dan sukses. Agar, bisnisnya bisa menghidupinya, keluarganya, santrinya dan
masyarakat di sekitar lingkungan tempat tinggalnya.
Cetus beliau: “akhirat dan dunia seharusnya digenggam oleh
jenengan-jenengan selaku santri, dan islam telah mengajarkannya secara menyeluru
dan lengkap.”
***
Ya, santri itu bernama Muhadi. Berkat kerja keras dan pantang menyerah ia
menjadi pebisnis jasa bus Dedy Jaya yang patut diacungi jempol. Muhadi yang lahir tahun 1961 di Brebes, Jawa Tengah ini, telah malang melintang menjajaki berbagai macam
bisnis dan pekerjaan mulai dari berdagang es lilin, kondektur bus dan berjualan
minyak tanah.
Namun, nasib berbicara lain. Dengan doa, kerja keras dan pantang menyerah
selama sekitar 18 tahun lebih, ia akhirnya menjadi konglomerat dengan
dibuktikannya berbagai macam bisnis yang telah ia miliki dan jalankan mulai
dari hotel, toko bahan bangunan, pabrik cat, toko emas dan mal di sekitar
Brebes, Tegal dan Pemalang hingga bisnis bus. Semuanya di bawah naungan kerajaan bisnisnya
bernama: PT Dedy Jaya Lambang Perkasa. Dengan total karyawan berjumlah
2.500 karyawan.
***
Cikal bakal kesuksesan ekspansi
bisnisnya awalnya berangkat dari bisnis bambu. Modal yang ia gunakan untuk
memulai bisnis ini sekitar Rp. 50.000,-. Jerih payah berbisnis bambu ini
ternyata memberikan keuntungan yang lumayan. Berduyun-duyun orderan
berdatangan. Upamanya, pernah sebuah kontaktor bangunan order ribuan batang
bambu. Mulailah keuntungan berangsur-angsur meningkat dari Rp. 70.000 sebulan
jadi Rp. 470.000.
***
Setelah dua tahun berbisnis bambu,
dengan modal dari keuntungan berbisnis bambu dan pinjaman dari bank, ekspansi
bisnisnya berlanjut dengan mendirikan bisnis bahan bangunan. Yang pengetahuan
tentang dunia bahan bangunan ia peroleh dari interaksi dengan kontaktor yang
sering order bisnis bambunya.
***
Ternyata bisnis bahan bangunan
ini adalah keran meningkatkan keuntungan yang terus mengalir. Tujuh tahun
berbisnis bahan bangunan, bisnis Muhadi pun merambah ke jasa transportasi bus.
Keuntungan dari berbisnis bahan bangunan ia jadikan modal untuk membeli
beberapa bus besar.
Pastinya untuk penumpang trayek
tujuan Jakarta-Purwokerto, Jakarta-Tegal, Jakarta-Pemalang-Pekalongan, PO Dedy
Jasa – brand yang ia namai dari anak pertamanya Dedion Supriyono – yang telah
berjumlah ratusan unit tersebut bukan asing lagi. Itulah bisnis bus yang hingga
saat ini digeluti oleh Muhadi, dan berkat tangan dinginnya bisnis bus ini terus
berkembang.
Tak hanya mau finish di level
bisnis ini saja. Muhadi terus melebarkan ekspansi sayap binisnya hingga ke
bisnis emas, perkayuan, mal, hotel, pom bensin.
***
Biografi singkat Muhadi yang notabennya adalah seorang santri ini semoga
melecut kalangan santri di Indonesia untuk mau mengikuti jejaknya. Dan kita
tidak lagi hanya menjadi penonton, tapi pelaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar